Suasana di bukit itu
sudah mulai tercium. Jagung bakar, kopi jahe dan hawa dingin mencubu kulit Sofi
yang waktu itu memakai jaket tipis. Lampu-lampu kota yang sudah terlihat
seperti semut membawa obor api. Berjejer rapi, jalanan kota sepintas seperti
garis lurus berwarna merah kekuning-kuningan. Pemandangan itu begitu indah,
seindah hati Sofi bisa bersama Azil malam itu.
Sesampainya di tempat tujuan,
Azil seger mamarkirkan motornya. Dan mereka berjalan beriringan bak pengantin
yang baru diiring menuju singgasana. Menuju sebuah beton yang sudah tertata
rapi di bibir jurang. Sambil menghadap lautan cahaya keemasan di jantung kota.
Semua terlihat jelas dari atas sini. Barisan lampu itu membuat anggun
pemandangan malam, berselimut hawa dingin yang menusuk kulit. Sesekali Azil
menatap sofi dengan pandangannya yang tajam, namun ketika Sofi melihat Azil
seketika itu dia menyembunyikan tatapannya. Bak pencuri yang segera
menyembunyikan barang curiannya. Sofi
hanya tersenyum melihat tingkah aneh Azil.
Mereka berdua duduk
bersampingan dengan jarang tiga jengkal. Bulan dan bintang pun ikut
memperhatikan kisah mereka berdua, bertahta megah di lautan yang malam itu
begitu sempurna. Bercerita dengan penuh canda tawa, teradang mereka harus berbisik
untuk memberitahukan sesuatu yang rahasia. Tiba-tiba tangan Azil menunjuk ke
sebuah titik yang Sofi mencoba paham. Mencoba menggapai setiap apa saja yang
sedang di tuju oleh jemari Azil. Sofi tak luput dari gerakan tangan Azil,
menuju ke sebuah titik yang begitu jauh.
“Di sana Rumahku”, telunjuk
Azil berhenti di sebuah baris lurus mengitari lampu kota.
Itu hanya guyonanan Azil
untuk menghangatkan suasana, Mereka bisa tertawa lepas. Hanyut dalam melodi
romantika anak muda.
Waktu itu begitu singkat, Sofi dan Azil pun mengundurkan diri
dari tongkrongan anak muda itu. Meninggalkan pemandangan unik, meninggalkan
penjaja jagung bakar, meninggalkan semua
hal di tempat itu. Mereka berdua berjalan menuju parkiran. Tiba-tiba Azil
menyeletuk,
“Fi, kamu kelihatan galak kalau ngelirik ke aku kaya gitu”.
Sofi hanya cemberut, melihat ejekkan Azil. Mereka pun
melanjutkan perjalanan pulang.
o0o
Asrama terlihat sepi, Sofi turun perlahan turun dari motor
Azil. Masih merasa enggan untuk masuk asrama, lima belas menit lagi gerbang
ditutup. Azil mencoba tidak pergi dulu sebelum Sofi masuk ke dalam asrama.
Saling pandang, dan bahasa rayu, yang Azil utarakan membuat suasanan perpisahan
untuk malam itu semakin hangat.
Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba, Azil menatap wajah Sofi
dengan serius. Begitu tajam pandangan itu, membuat Sofi mengalihkan
pandangannya.
“Fi,,,” Azul membuat suasana itu menjadi serius.
Sofi hanya menatap Azil dengan tatapan yang layu.
“Gimana dia?”. Tanya Azil semakin
membuat hati Sofi bingung.
“Aku belum tau...” Jawab Sofi bahasanya begitu lemas.
“@#$%^&*4667?”, Lanjut Azil berbisik
Deg.... Hati Sofi kacau.
Keadaanya sekarang adalah ungkapan Azil yang membuatnya bingung, Sofi
hanya terdiam mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Azil.
“Maksudnya ?”, Sofi mencoba
membuayarkan suasana dengan alasan ketidakpahaman untuk menjawab pertanyaan
Azil.
“@#$%^&*@#$%^&*$%^&*(”. Jawab Azil mengembalikan
keadaan menjadi serius.
Sofi hanya terbengong, tak
salah lagi Azil benar-benar nembak Sofi malam itu.
“Aku masih butuh waktu.”
Jawab Sofi tegas.
Azil hanya menanggapinya
dengan senyuman, mencoba mengundurkan diri dari hadapan Sofi. Menhidupkan
motornya dan pamit pulang.
Sedangan Sofi, berjalan
lunglai di pelataran asrama. Duduk di bangu-bangu dekat taman bunga. Masih
melihat dengan pandangan kosong, tidak percaya tentang malam ini. Dengan apa
yang di katakan oleh Azil. Selang beberapa waktu kemudian Sofi mulai
meninggalkan tempat itu.
o0o
Bercerita tentang
aku dan duniamu, dan kamu dalam duniaku, kita menyapa. Kita bersama. Dalam
sebuah kubangan. Kita menyeru. Alitan angin yang bersimfonikan pelangimu. Dan
aku terkejut. Ketika kamu membuatku terang. Meninggalkan angan masa lalu. Aku
terjepit karena penjara merahnya. Dan aku begitu layu ketika harus merangkak.
Menuju pangkuanmu. Tertatik aku ketika melihat wujudmu dihadapanku. Menyambutku
dengan genggaman hangat. Dan aku mulai bangkit untuk bangun dari
keterpurukanku. Kau mengajariku berjalan ketika aku lupa bagaimana melangkah.
Kau mengajariku berkata ketika aku lupa bagaimana berucap. Aku tersanjung Kau
begitu indah dimataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar