Kehidupan yang Allah ciptakan tidak lebih sebenarnya untuk menguji siapakah
diantara hamba-hamba-Nya yang paling banyak dan paling baik amalannya.
Beramal adalah inti dari eksistensi (keberadaan) manusia di dunia, karena tanpa amal otomatis manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi.
Sifat Ikhlas dibagi dalam 3 macam:
1.Ikhlas Awam, yaitu: Dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan rasa takut terhadap siksa Allah dan masih mengharapkan pahala.
2.Ikhlas Khawas,
yaitu: Beribadah kepada Allah karena didorong dengan harapan supaya
menjadi orang yang dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya kelak ia
mendapatkan sesuatu dari Allah SWT.
3.Ikhlas Khawas al-Khawas adalah:
Beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang mendalam bahwa segala
sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Allah-lah Tuhan yang
sebenar-benarnya.
Dari penjelasan diatas, ikhlas tingkatan yang pertama dan kedua masih mengandung unsur pamrih
(mengharap) balasan dari Allah, sementara tingkatan yang ketiga adalah
ikhlas yang benar-benar tulus dan murni karena tidak mengharapkan
sesuatu apapun dari Allah kecuali ridla-Nya, tingkatan ini hanya di
miliki oleh orang-orang yang arif bi Allah .
Imam Al-Ghazali mengatakan:
هَلَكَ النَّاسُ كُلُّهُمْ إِلاَّ الْعُلَمَاءْ , وَهَلَكَ الْعُلَمَاء كُلُّهُمْ إِلاَّ الْعَامِلِيْنَ ,
وَهَلَكَ الْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ إِلاَّ الْمُخْلِصِيْنَ , وَالْمُخْلِصُوْنَ عَلىَ خَطْرٍ عَظِيْمٍ
Artinya:
”Setiap manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu akan binasa kecuali yang beramal (dengan ilmunya), dan orang yang beramal juga binasa kecuali yang ikhlas (dalam amalnya). Akan tetapi, orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal.
Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat
keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, karena hanya orang yang
mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari
kiamat, yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia
harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia.
Sungguh keikhlasan merupakan benteng
yang paling kokoh yang tak tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan
fitnah iblis beserta sekutunya. Semakin luas wilayah kerja (dakwah)
seseorang, maka semakin diperlukan tingkat keikhlasannya. Apalagi di
tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang menghadang,
yang pada umumnya seperti yang dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna dalam Risalahnya, yaitu: Harta, kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan serta pujian.
Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka Dr. Ali Abdul Halim Mahmud menyatakan;
keikhlasan bagi seorang da’i merupakan keniscayaan yang harus
senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai
keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka
binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi seorang
da’i yang harus selalu melekat dalam dirinya adalah ikhlas. Oleh karena
itu, para ulama hadist
menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan mereka, agar
karya tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari
sifat ini. Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam
beramal mencontohkan kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita
lakukan dengan ukuran ikhlas.
Para nabi sendiri dalam kapasitasnya
sebagai da’i, beliau selalu meletakkan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka.
Rasulullah SAW bersabda tentang sifat
yang mulia ini: “Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat,
niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan
baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri
kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan
utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya
berada di depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya,
serta dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang
telah ditakdirkan untuknya“. (HR.Tirmidzi).
Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan
tetap menjadi modal, bekal sekaligus pengendalinya amal sholih,
lebih-lebih dakwah sebagai puncak dari amal sholih. Karena semakin berat
dan mulia sebuah tugas tentu semakin diperlukan keikhlasan. Semakin
dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang, maka semestinya
semakin baik tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan juga
merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih,
bahkan ia yang paling utama.
Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami:
أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ الْقَلِيْلُ مِنْهُ
“Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu lakukan”.
Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada
variabel yang melekat pada setiap amal yang kita lakukan, seperti:
adanya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan dan
kesungguhan. Maka amalan yang cenderung apa adanya, ikut sesuka hati,
asal jadi, serta amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak
ikhlasan kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat
bagi kita sesungguhnya. Ikhlas inikah yang akan memperkuat potensi
spritualitas kita. Lantas pertanyaan besar kita, “Apakah ruh dan
motivasi yang menggerakkan roda amal kita selama ini ?
Ibnu Dahlan El-Madary
ref:http://tanbihun.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar